Dhammadesana di Vihara Karuna Mukti Bandung
pada tanggal 15 Mei 2016
dapat dilihat di link berikut ini :
https://drive.google.com/file/d/0ByNMrbhP-VejNXNiU1ZmcjhPekU/view?usp=sharing
Wednesday, May 18, 2016
Sunday, October 25, 2015
Resume Dhamma Aldo Sinatra: Kosmologi Buddhis (25102015)
Suvijᾱno bhavaṁ
hoti, Suvijᾱno parᾱbhavo
Dhammakᾱmmo bhavaṁ
hoti, Dhammadesi parᾱbhavo’ti.
Kesejahteraan
dalam kehidupan adalah wajar,
kemerosotan
dalam kehidupan juga adalah wajar.
seseorang yang
mencintai Dhamma akan sejahtera,
seseorang yang
membenci Dhamma akan merosot.
(Sutta Nipata
92)
Anda selaku umat
Buddha adalah orang-orang yang sungguh sangat luar biasa! Hadir di vihara tentu
dengan tujuan kebajikan yang luar biasa! Sementara orang lain mungkin
berhalangan hadir karena bepergian, macet, malas, dan sebagainya.
Dhamma sebagai
Ajaran Buddha sungguh sangat Luar biasa, Dahsyat dan fantastis! Mengapa
demikian?
Karena banyak
bidang kehidupan yang dirangkul, dipeluk, ditelaah, dianalisa, dibahas
sedemikian jelas dan gamblang di dalam Buddha Sasana. Lebih-lebih dalam era
2600 tahun yang lampau dengan teknologi terbatas dan pemikiran nan sederhana.
Ajaran Buddha
sungguh sangat unik dan spesifik, berbeda jauh dengan kebanyakan ajaran-ajaran
agama lainnya. Memang tak ditampik, banyak pula persamaan dalam segi landasan
kemoralan dan kebajikannya.
Salah satu yang
beda dan unik tersebut adalah tentang "Konsep Ketuhanan dan Kosmologi Buddhis."
Di sini saya
lebih membahas kepada Kosmologi Buddhis yang unik, antara lain:
Alam Semesta,
Awal Mula Bumi dan Manusia, Kehidupan Manusia di Alam Semesta, Kiamat.
Apa yang Anda
pikirkan bila mendengar kata “KIAMAT”?
Yang jelas bukan
kakek bernama “Ki Amat”. Atau ada istilah lain KIta pAsti MATi.
Menurut Bhante
Uttamo, ada 3 jenis kiamat. Kiamat besar yaitu hancurnya semesta atau tata
surya kita ini. Kiamat sedang yaitu berurainya lima khanda kita yang disebut
kematian. Dan kiamat kecil yaitu perpisahan dari hal-hal yang kita cintai.
Alam
Semesta
Menurut
pandangan Buddhis, alam semesta ini luas sekali. Dalam alam semesta terdapat
banyak tata surya yang jumlahnya tidak dapat dihitung. Hal ini diterangkan oleh
Sang Buddha sebagai jawaban atas pertanyaan bhikkhu Ananda dalam Anguttara
Nikaya sebagai berikut:
Ananda
apakah kau pernah mendengar tentang seribu Culanika loka dhatu (tata surya
kecil) ? .......
Ananda, sejauh matahari dan bulan
berotasi pada garis orbitnya, dan sejauh pancaran sinar matahari dan bulan di
angkasa, sejauh itulah luas seribu tata surya. Di dalam seribu tata surya
terdapat seribu matahari, seribu bulan, seribu Sineru, seribu jambudipa, seribu
Aparayojana, seribu Uttarakuru, seribu Pubbavidehana ....... Inilah, Ananda,
yang dinamakan seribu tata surya kecil (sahassi culanika lokadhatu). *
Ananda, seribu kali sahassi culanika
lokadhatu dinamakan "Dvisahassi majjhimanika lokadhatu".
Ananda, seribu kali Dvisahassi
majjhimanika lokadhatu dinamakan "Tisahassi Mahasahassi Lokadhatu".
Ananda, bilamana Sang Tathagata mau,
maka ia dapat memperdengarkan suara-Nya sampai terdengar di Tisahassi mahasahassi
lokadhatu, ataupun melebihi itu lagi.
Sesuai dengan kutipan di atas dalam
sebuah Dvisahassi Majjhimanika lokadhatu terdapat 1.000 x 1.000 = 1.000.000
tata surya. Sedangkan dalam Tisahassi Mahasahassi lokadhatu terdapat 1.000.000
x 1.000 = 1.000.000.000 tata surya. Alam semesta bukan hanya terbatas pada satu
miliar tata surya saja, tetapi masih melampauinya lagi.
*Jambudipa
adalah belahan bumi bagian selatan.
Aparayojana
adalah belahan bumi bagian barat.
Uttarakuru
adalah belahan bumi bagian utara.
Pubbavideha
adalah belahan bumi bagian timur.
KEJADIAN BUMI DAN MANUSIA
Terjadinya bumi dan manusia merupakan konsep yang unik pula dalam
agama Buddha, khususnya tentang manusia pertama yang muncul di bumi kita ini
bukanlah hanya seorang atau dua orang, tetapi banyak. Kejadian bumi dan manusia
pertama di bumi ini diuraikan oleh Sang Buddha dalam Digha Nikaya, Agganna
Sutta, dan Brahmajala Sutta. Tetapi di bawah ini hanya uraian dari Agganna Sutta
yang akan diterangkan.
Vasettha, terdapat suatu
saat, cepat atau lambat, setelah suatu masa yang lama sekali, ketika dunia ini
hancur. Dan ketika hal ini terjadi, umumnya makhluk-makhluk terlahir kembali di
Abhassara (alam cahaya); di sana mereka hidup dari ciptaan batin (mano maya),
diliputi kegiuran, memiliki tubuh yang bercahaya, melayang-layang di angkasa,
hidup dalam kemegahan. Mereka hidup demikian dalam masa yang lama sekali.
Pada waktu itu (bumi kita ini) semuanya terdiri dari
air, gelap gulita. Tidak ada matahari atau bulan yang nampak, tidak ada
bintang-bintang maupun konstelasi-konstelasi yang kelihatan; siang maupun malam
belum ada, ..... laki-laki maupun wanita belum ada. Makhluk-makhluk hanya dikenal
sebagai makhluk-makhluk saja.
Vasettha, cepat atau lambat
setelah suatu masa yang lama sekali bagi mahluk-mahluk tersebut, tanah dengan
sarinya muncul keluar dari dalam air. Sama seperti bentuk-bentuk buih (busa) di
permukaan nasi susu masak yang mendingin, demikianlah munculnya tanah itu.
Tanah itu memiliki warna, bau dan rasa. Sama seperti dadi susu atau mentega
murni, demikianlah warna tanah itu; sama seperti madu tawon murni, demikianlah
manis tanah itu. Kemudian Vasettha, di antara makhluk-makhluk yang memiliki sifat
serakah (lolajatiko) berkata : 'O apakah ini? Dan mencicipi sari tanah itu
dengan jarinya. Dengan mencicipinya, maka ia diliputi oleh sari itu, dan nafsu
keinginan masuk dalam dirinya. Makhluk-makhluk lainnya mengikuti contoh
perbuatannya, mencicipi sari tanah itu dengan jari-jari... makhluk-makhluk itu
mulai makan sari tanah, memecahkan gumpalan-gumpalan sari tanah tersebut dengan
tangan mereka. Dan dengan melakukan hal ini, cahaya tubuh makhluk-makhluk itu
lenyap. Dengan lenyapnya cahaya tubuh mereka, maka matahari, bulan,
bintang-bintang dan konstelasi-konstelasi nampak... siang dan malam... terjadi.
Demikianlah, Vasettha,
sejauh itu bumi terbentuk kembali.
Vasettha, selanjutnya
mahluk-mahluk itu menikmati sari tanah, memakannya, hidup dengannya, dan berlangsung
demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka
makan itu, maka tubuh mereka menjadi padat, dan terwujudlah berbagai macam
bentuk tubuh. Sebagian makhluk memiliki bentuk tubuh yang indah dan sebagian
makhluk memiliki tubuh yang buruk. Dan karena keadaan ini, mereka yang memiliki
bentuk tubuh yang indah memandang rendah mereka yang memiliki bentuk tubuh yang
buruk... maka sari tanah itupun lenyap... ketika sari tanah lenyap... muncullah
tumbuhan dari tanah (bhumipappatiko). Cara tumbuhnya seperti cendawan...
Mereka menikmati, mendapatkan makanan, hidup dengan tumbuhan yang muncul dari
tanah tersebut, dan hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali... (seperti di atas). Sementara
mereka bangga akan keindahan diri mereka, mereka menjadi sombong dan congkak,
maka tumbuhan yang muncul dari tanah itu pun lenyap. Selanjutnya tumbuhan
menjalar (badalata) muncul... warnanya seperti dadi susu atau mentega murni,
manisnya seperti madu tawon murni... Mereka menikmati, mendapatkan makanan
dan hidup dengan tumbuhan menjalar itu... maka tubuh mereka menjadi lebih
padat; dan perbedaan bentuk tubuh mereka nampak lebih jelas; sebagian nampak indah
dan sebagian nampak buruk. Dan karena keadaan ini, maka mereka yang memiliki
bentuk tubuh indah memandang rendah mereka yang memiliki bentuk tubuh buruk... Sementara mereka bangga akan keindahan tubuh mereka sehingga menjadi
sombong dan congkak, maka tumbuhan menjalar itu pun lenyap.
Kemudian, Vasettha, ketika
tumbuhan menjalar lenyap... muncullah tumbuhan padi (sali) yang masak di alam terbuka, tanpa
dedak dan sekam, harum, dengan bulir-bulir yang bersih. Pada sore hari mereka
mengumpulkan dan membawanya untuk makan malam, pada keesokkan paginya padi itu
telah tumbuh dan masak kembali. Bila pada pagi hari mereka mengumpulkan dan
membawanya untuk makan siang, maka pada sore hari padi tersebut telah tumbuh
dan masak kembali, demikian terus menerus padi itu muncul.
Vasettha, selanjutnya
makhluk-makhluk itu menikmati padi (masak) dari alam terbuka, mendapatkan makanan
dan hidup dengan tumbuhan padi tersebut, dan hal ini berlangsung demikian dalam
masa yang lama sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka nikmati dan makan
itu, maka tubuh mereka tumbuh lebih padat, dan perbedaan bentuk mereka nampak
lebih jelas. Bagi wanita nampak jelas kewanitaannya (itthilinga) dan bagi
laki-laki nampak jelas kelaki-lakiannya (purisalinga). Kemudian wanita sangat
memperhatikan tentang keadaan laki-laki, dan laki-laki pun sangat memperhatikan
keadaan wanita. Karena mereka saling memperhatikan keadaan diri satu sama lain terlalu
banyak, maka timbullah nafsu indriya yang membakar tubuh mereka. Dan sebagai
akibat adanya nafsu indriya tersebut, mereka melakukan hubungan kelamin.
Vasettha, ketika mahluk-mahluk lain melihat mereka melakukan
hubungan kelamin...
(Silakan
buka Digha Nikaya bab 27 Agganna Sutta untuk lebih lengkapnya)
KEHIDUPAN MANUSIA DI ALAM SEMESTA
Di kalangan masyarakat dan karena pengaruh pandangan atau ajaran
dari agama-agama lain, banyak orang menganggap bahwa kehidupan manusia di dunia
ini hanya sekali saja. Pandangan ini berbeda sekali dengan agama Buddha, karena
dalam Digha Nikaya, Brahmajala Sutta, Sang Buddha menerangkan tentang kehidupan
manusia yang telah hidup berulang-ulang kali yang diingat berdasarkan pada
kemampuan batin yang dihasilkan oleh meditasi. Sang Buddha mengatakan bahwa:
... ada beberapa pertapa
dan brahmana yang disebabkan oleh semangat, tekad, kesungguhan dan kewaspadaan
bermeditasi, ia dapat memusatkan pikirannya, batinnya, menjadi tenang, ia dapat
mengingat alam-alam kehidupannya yang lampau pada 1, 2, 3, 4, 5, 10, 20, 30,
40, 50, 100, 1000, beberapa ribu atau puluhan ribu kehidupan yang lampau...
1, 2, 3, 4, 5, 10, kali masa bumi berevolusi (bumi terjadi dan bumi hancur, bumi terjadi kembali dan hancur kembali... dst.). ... 20, 30, sampai 40 kali masa bumi berevolusi...
(tetapi) Tathagata telah menyadari dan mengetahui hal-hal lain yang lebih jauh
daripada jangkauan pandangan-pandangan mereka tersebut...
Telah kita ikuti di atas bahwa menurut pandangan Buddhis,
kehidupan atau kelahiran manusia bukan baru sekali saja tetapi telah
berulang-ulang kali hidup di bumi ini dan juga hidup di bumi-bumi yang lain.
Manusia atau mahluk hidup berpindah-pindah dari sebuah bumi ke bumi yang lain.
Perpindahan kehidupan manusia dari sebuah bumi ke bumi yang lain disebabkan
karena bumi yang dihuninya telah hancur lebur atau kiamat, maka setelah
kematiannya di bumi tersebut ia terlahir di alam Abhassara (alam cahaya).
Kelahiran di alam Abhassara ini dapat dicapai oleh orang yang melakukan
meditasi ketenangan batin (samatha bhãvana). Alam Abhassara adalah sebuah alam
dari 31 alam kehidupan menurut kosmologi alam kehidupan Buddhis.
Tentang 31 alam ini lihatlah TABEL ALAM-ALAM KEHIDUPAN.
Bila seseorang bermeditasi samatha bhãvana hingga mencapai tingkat
Jhãna II, dan kalau orang tersebut meninggal dunia dalam kondisi meditasi pada
Jhãna II tersebut maka ia akan terlahir sebagai Brahma di alam Abhassara dan
hidup dengan masa usia yang lama sekali.
Dari ke-31 alam, kecuali lima alam Suddhavasa yaitu alam Aviha,
Atappa, Sudassa, Sudassi, dan Akanittha, adalah alam lokuttara (transenden) tempat kelahiran
para Anagami*. Anagami adalah manusia atau makhluk yang telah melenyapkan 5
belenggu (samyojana)** dari 10 belenggu yang mengikat manusia.
Anagami adalah manusia atau makhluk suci (ariya pugala) dari
empat macam manusia suci menurut agama Buddha, yaitu: Sotapanna, Sakadagami,
Anagami, dan Arahat. Anagami akan mencapi tingkat kesucian tertinggi (arahat) di
salah satu alam Suddhavasa ini, dan ia parinibbana sebagai arahat di alam ini
pula.
Manusia pada umumnya telah berulang-ulang kali masuk keluar
hidup di 26 alam kehidupan. Kelahiran manusia di salah sebuah alam tergantung
pada amal perbuatannya semasa hidupnya di sebuah alam.
KIAMAT
Pada suatu ketika bumi kita ini akan hancur lebur dan tidak ada.
Tapi hancur leburnya bumi kita ini atau kiamat bukanlah merupakan akhir dari
kehidupan kita. Sebab seperti apa yang telah diuraikan di halaman terdahulu,
bahwa di alam semesta ini tetap berlangsung pula evolusi terjadinya bumi. Lagi
pula, bumi kehidupan manusia bukan hanya bumi kita ini saja tetapi ada banyak
bumi lain yang terdapat dalam tata surya - tata surya yang tersebar di alam
semesta ini.
Kiamat atau hancur leburnya bumi kita ini menurut Anguttara
Nikaya, Sattakanipata diakibatkan oleh terjadinya musim kemarau yang lama
sekali. Selanjutnya dengan berlangsungnya musim kemarau yang panjang ini
muncullah matahari yang kedua, lalu dengan berselangnya suatu masa yang lama matahari
ketiga muncul, matahari keempat, matahari kelima, matahari keenam dan akhirnya
muncul matahari ketujuh. Pada waktu matahari ketujuh muncul, bumi kita terbakar
hingga menjadi debu dan lenyap bertebaran di alam semesta.
Pemunculan matahari kedua, ketiga dan lain-lain bukan berarti
matahari-matahari itu tiba-tiba terjadi dan muncul di angkasa, tetapi
matahari-matahari tersebut telah ada di alam semesta kita ini. Dalam setiap
tata surya terdapat matahari pula.
Menurut ilmu pengetahuan bahwa setiap planet, tata surya, dan
galaxi beredar menurut garis orbitnya masing-masing. Tetapi kita sadari pula,
karena banyaknya tata surya di alam semesta kita ini, maka pada suatu masa
garis edar tata surya kita akan bersilangan dengan garis orbit tata surya lain,
sehingga setelah masa yang lama ada tata surya yang lain lagi yang bersilangan
orbitnya dengan tata surya kita. Akhirnya tata surya ketujuh menyilangi garis
orbit tata surya kita, sehingga tujuh buah matahari menyinari bumi kita ini.
Baiklah kita ikuti uraian tentang kiamat yang dikhotbahkan oleh Sang Buddha
kepada para bhikkhu:
Bhikkhu, akan tiba suatu
masa setelah bertahun-tahun, ratusan tahun, ribuan tahun, atau ratusan ribu tahun,
tidak ada hujan. Ketika tidak ada hujan, maka semua bibit tanaman seperti bibit
sayuran, pohon penghasil obat-obatan, pohon-pohon palem dan pohon-pohon besar
di hutan menjadi layu, kering, dan mati...
Para bhikkhu, selanjutnya
akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari kedua muncul.
Ketika matahari kedua muncul, maka semua sungai kecil dan danau kecil surut,
kering dan tiada...
Para bhikkhu, selanjutnya
akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari ketiga muncul.
Ketika matahari ketiga muncul, maka semua sungai besar, yaitu sungai Gangga,
Yamuna, Aciravati, Sarabhu dan Mahi surut, kering dan tiada...
Para bhikkhu, selanjutnya
akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari keempat muncul. Ketika
matahari keempat muncul, maka semua danau besar tempat bermuaranya sungai-sungai
besar, yaitu danau Anotatta, Sihapapata, Rathakara, Kannamunda, Kunala,
Chaddanta, dan Mandakini surut, kering dan tiada...
Para bhikkhu, selanjutnya
akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari kelima muncul.
Ketika matahari kelima muncul, maka air maha samudra surut 100 yojana*, lalu
surut 200 yojana, 300 yojana, 400 yojana, 500 yojana, 600 yojana dan surut 700
yojana. Air maha samudra tersisa sedalam tujuh pohon palem, enam, lima, empat,
tiga, dua pohon palem, dan hanya sedalam sebatang pohon palem. Selanjutnya, air
maha samudra tersisa sedalam tinggi tujuh orang, enam, lima, empat, tiga, dua
dan hanya sedalam tinggi seorang saja, lalu dalam airnya setinggi pinggang,
setinggi lutut, hingga airnya surut sampai sedalam tinggi mata kaki.
Para bhikkhu, bagaikan di
musim rontok, ketika terjadi hujan dengan tetes air hujan yang besar, mengakibatkan ada lumpur
di bekas tapak-tapak kaki sapi, demikianlah dimana-mana air yang tersisa dari
maha samudra hanya bagaikan lumpur yang ada di bekas tapak-tapak kaki sapi.
Para bhikkhu, selanjutnya
akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari keenam muncul. Ketika
matahari keenam muncul, maka bumi ini dengan gunung Sineru sebagai raja gunung-gunung,
mengeluarkan, memuntahkan dan menyemburkan asap. Para bhikkhu, bagaikan tungku
pembakaran periuk yang mengeluarkan, memuntahkan dan menyemburkan asap,
begitulah yang terjadi dengan bumi ini.
Demikianlah, para bhikkhu,
semua bentuk (sangkhara) apa pun adalah tidak kekal, tidak abadi atau tidak
tetap. Janganlah kamu merasa puas dengan semua bentuk itu, itu menjijikkan,
bebaskanlah diri kamu dari semua hal.
Para bhikkhu, selanjutnya
akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari ketujuh muncul. Ketika
matahari ketujuh muncul, maka bumi ini dengan gunung Sineru sebagai raja gunung-gunung
terbakar, menyala berkobar-kobar, dan menjadi seperti bola api yang berpijar.
Cahaya nyala kebakaran sampai terlihat di alam Brahma, demikian pula dengan
debu asap dari bumi dengan gunung Sineru tertiup angin sampai ke alam Brahma.
Bagian-bagian dari puncak
gunung Sineru setinggi 1, 2, 3, 4, 5 ratus yojana terbakar dan menyala ditaklukkan
oleh amukan nyala yang berkobar-kobar, hancur lebur. Disebabkan oleh nyala yang
berkobar-kobar bumi dengan gunung Sineru hangus total tanpa ada bara maupun abu
yang tersisa. Bagaikan mentega atau minyak yang terbakar hangus tanpa sisa.
Demikian pula bumi maupun debu tidak tersisa sama sekali.
Diskusi
:
T: Bila
kita melakukan keburukan-keburukan saat ini adalah warisan dari leluhur para
makhluk Abhassara, maka semestinya kita tidak
bersalah atau berdosa, toh mewarisi sifat mereka?
J: Itu
tak ubahnya seperti pemahaman bahwa karena Tuhan adalah Maha Pengatur, maka
semua kesalahan yang kita perbuat karena kehendaknya! Salahkan beliau kalau
kita salah? Apa beda kita dengan penganut pandangan demikian? Tujuan
mempelajari Buddhism, dalam hal ini asal muasal kesalahan yang pernah diperbuat
leluhur kita, setelah memahami Kebenaran Dhamma, dapatkah kita memutus semua
akar kilesa kita untuk menjadi cerah dan “terbangun”.
T:
Apakah di dalam agama Buddha terdapat kasta? Apakah kasta terbaik?
J:
Ketika menjawab pertanyaan Vasetta dan Bharadvaja, (sebab munculnya Agganna
Sutta) yang mempertanyakan kasta yang terbaik, Sang Buddha menyebut Khattiya
lah yang terbaik. Sang Bhagava mengutip Brahma Sunankumara, “Khattiya adalah
yang terbaik di antara semua kasta, Ia dengan pengetahuan dan perilaku yang
baik adalah yang terbaik di antara Dewa dan manusia. Namun, kepada para Bhikkhu
yang taat, Sang Buddha menyebut di dalam Buddha Sasana hanya mengenal satu
kasta yaitu Sakyaputta (putra Sakya).
Semoga
jasa-jasa kebajikan yang telah kita perbuat, baik dari Sang Dhammaduta yang
telah membabarkan Dhamma (kalena dhammasakkacca) dan para umat yang mendengar
Dhamma (kalena dhammasavanam) yang merupakan berkah utama, dapat terlimpah
kepada para leluhur yang telah meninggal, baik para leluhur di kehidupan saat
ini maupun di kehidupan-kehidupan yang lampau. Semoga mereka semua berbahagia.
Semoga
semua makhluk hidup berbahagia.
Sabbe
satta bhavantu sukhitata.
Sadhu...
VKM, 25
Okt 2015
Sunday, October 11, 2015
Resume Dhammadesana Romo Jayana: Pengaruh Pikiran dalam Kehidupan (11102015)
Ceramah Romo Jayana menggunakan slide power point, silakan saksikan slide-nya
(klik saja tautan, tulisan berwarna merah berikut), setelah masuk ke
situs mediafire, silakan klik tulisan View (kotak warna hijau)
Untuk mengganti gambar slide, silakan tekan tombol panah ke kanan (-->). Selamat menyaksikan...
Sunday, September 27, 2015
Samma Ditthi: Menghapus Tabir Kelam Perbedaan Dhamma dan Adhamma
Di antara semua jalan,
maka Jalan Mulia Berfaktor Delapan adalah yang terbaik; di antara semua
kebenaran, maka Empat Kebenaran Mulia adalah yang terbaik.
~ Dhammapada XX : 273
Tak dapat dipungkiri, umat
Buddha Indonesia menghadapi kerancuan pandangan akan banyaknya tradisi atau
budaya yang telah melebur, bercampur dan sinkretis dengan Buddha Dhamma.
Sehingga tak heran bilamana beberapa umat yang galau tersebut mempertanyakan
manakah Dhamma yang benar itu? Dan mana yang bukan Dhamma?
Salah satunya kerancuan
akan pandangan mengenai telah datangnya Buddha akan datang, Buddha Metteya.
Bahkan ada catatan yang menyebutkan pada tanggal 1 Agustus 1943 (Ref. Majalah
Dhammacakka No. 43/XII/Agustus-Oktober 2006 artikel berjudul Kerancuan
Pandangan hal. 12). Padahal kita semua tahu bahwa Ajaran Buddha Gotama masih
eksis dan lengkap, yang tertuang di dalam Tipitaka.
Pandangan berikutnya, dari
BBM seorang teman yang mempertanyakan apakah je it dan cap go (tiap tgl 1 dan
15 penanggalan lunar), umat Buddha wajib melakukan cia cai (vegetarian)?
Saya menjawab, bila ia
terbiasa cia cai, silakan. Bila tidak, jangan dipaksa!
Di dalam Dhamma, Sang Buddha tidak pernah mempermasalahkan umat-Nya untuk bervegetarian.
Bila umat Buddha Mahayana
cukup ketat untuk menghimbau untuk veggie, itu baik. Dengan pemahaman untuk
berlatih welas asih pada semua makhluk. Dan demi pola hidup sehat. Tapi, bukan
berarti yang bukan veggie itu buruk dan salah, atau telah melanggar sila.
Vegetarian tidak menjadikan
seseorang menjadi suci dan murni. Di dalam Amagandha Sutta, Sang Buddha
berkata:
Bukan daging, atau
berpuasa, atau bertelanjang,
Bukan kepala tercukur,
atau rambut kusut, atau kotor,
Bukan kulit yang kasar, atau
pemujaan api,
Bukan semua pengampunan
dosa di dunia ini,
Bukan kidung, atau
pengorbanan,
Bukan pesta musiman,
Yang akan memurnikan seseorang yang dikuasai keragu-raguan.
Di dalam Majjhima Nikaya I: 369, Sang Buddha mendapat pertanyaan dari Jivaka Komarabhacca berikut, “Yang
Mulia, saya telah mendengar bahwa bahwa hewan sengaja dibantai untuk petapa
Gotama, dan bahwa petapa Gotama secara sadar makan daging yang sengaja dibunuh
untuk-Nya. Yang Mulia, apakah mereka yang berkata demikian memberikan tuduhan
palsu kepada Sang Buddha? Atau apakah mereka mengatakan yang sebenarnya? Apakah
pernyataan tambahan Anda tidak diejek oleh orang lain dengan segala cara?”
“Mereka yang berkata
demikian, tidak berkata sesuai dengan apa yang telah Aku nyatakan dan mereka memberi
tuduhan palsu kepada-Ku. Jivaka, Aku telah menyatakan bahwa seseorang tidak
boleh menggunakan daging jika terlihat, terdengar, dan dicurigai telah sengaja
dibunuh untuk seorang bhikkhu. Aku mengiizinkan para bhikkhu makan daging yang
cukup murni dalam tiga hal: jika daging itu tidak terlihat, terdengar, dan
dicurigai telah sengaja dibunuh untuk seorang bhikkhu.”
Jadi jelas di sini, Sang
Buddha menyatakan bahwa bukanlah apa yang masuk ke dalam mulut seseorang yang
mengotori, melainkan apa yang keluar dari mulutnya. Tujuan belajar Dhamma
adalah mengurangi ketamakan, bukan pada jenis makanan yang dikonsumsinya.
Walau demikian, Sang
Buddha menganjurkan para bhikkhu untuk menghindari memakan sepuluh jenis daging
untuk kehormatan dan perlindungan diri mereka. Jenis daging tersebut antara
lain: manusia, gajah, kuda, anjing, ular, singa, harimau, macan tutul,
beruang, dan hyena. Beberapa hewan menyerang orang jika mereka mencium daging
jenis mereka. (Vinaya Pitaka)
Kesalahan pandangan yang
lain, adalah menganggap beberapa tradisi dan budaya leluhur sebagai Dhamma.
Pada hari ini, umat
keturunan Thionghoa merayakan Perayaan Tiong Ciu, yang tepat pada peh gwee cap
go atau tanggal 15 bulan 8 penanggalan lunar. Sesungguhnya mereka merayakan
perayaan tengah musim gugur. Mereka berkumpul pada tengah malam untuk melihat
malam bulan purnama, yang konon termasuk yang paling bulat, paling besar dan
paling indah sepanjang tahun. Para remaja, muda-mudi yang belum berpasangan
mencari jodoh dalam perayaan tersebut. Ladang untuk mencari jodoh.
Andai mereka mau menilik
latar sejarah di baliknya, bahwa kisah Tiong Ciu adalah kisah percemburuan Dewi
Chang E kepada suaminya yang hidung belang Hou Yi. Yang terkenal karena telah
memanah 9 matahari yang ketika itu bumi ini dikelilingi oleh sepuluh matahari.
Panas sekali, banyak hewan mati kepanasan, dan tumbuhan tak dapat tumbuh.
Singkat cerita, karena rasa sesalnya Hou Yi karena kedapatan selingkuh, ia
berniat untuk mendapatkan pil keabadian. Suatu ketika, Chang E menelan sendiri
pil tersebut, hingga ia terbang ke langit, namun karena tidak diterima Raja
Langit, ia terbang ke bulan. Untuk mengungkapkan rasa rindunya, Hou Yi membuat
kue bulan untuk berharap Chang E kembali kepadanya.
Sungguh rada aneh ya,
kisah perselingkuhan dan rasa cemburu, berkembang menjadi perayaan mencari
jodoh?
Namun, bila umat merayakan
tradisi dan budaya tersebut, silakan?! Sang Buddha tidak pernah menolak dan
melarang umat-Nya untuk merayakan tradisi leluhur selama hal tersebut tidak
merugikan dirinya sendiri dan orang lain.
Ada kisah lain tentang
tradisi. Bila bulan lalu, umat Buddha mengadakan upacara pattidana, umat Buddha
Mahayana dan kaum Tionghoa pada umumnya mengadakan ulambana. Salah satunya
melakukan pembakaran kertas sembahyang, yang disebut Kim Cua (kertas emas) dan
Gin Cua (kertas perak) untuk upacara sembahyang kepada leluhur dan para arwah
yang telah meninggal. Apakah hal itu salah? Kembali dalam Ajaran Buddha tidak
pernah melarang praktik tradisi leluhur. Hal ini dapat diambil hikmahnya, yaitu
bakti kepada orangtua dan para leluhur.
Namun, alangkah baiknya
bila kita kembali menilik akar sejarahnya.
Alkisah, seorang kaisar
dari dinasti Tang yang amat bijak, berpura-pura mati selama tiga hari. Ketika
disemayamkan oleh para keluarga kerajaan, ia terbangun. Dan saat bangun, kepada
hulu balang kerajaan, ia mengatakan mendapat visi/pandangan dalam masa mati
surinya. Beliau menghimbau kepada keturunan dan sanak keluarganya, yang kelak
diikuti oleh para rakyatnya untuk membakar kertas emas dan perak untuk
menghormati para leluhur yang telah meninggal, yang mungkin terlahir di alam
menderita.
Tahukah Anda, usut demi
usut, ternyata ini adalah siasat politik Sang Kaisar yang bijak yang tahu betul
bahwa kerajaannya tidak semuanya subur dan makmur. Ada daerah tertentu yang
tandus dan gersang, dan hanya tumbuh pohon bambu untuk pembuat kertas pada
waktu itu. Sehingga yang semula terjadi kesenjangan ekonomi di kerajaannya,
kini dengan produksi massal pembuatan kertas sembahyang, maka para kaum miskin
tersebut memiliki lapangan pekerjaan.
Namun, kini setelah sekian
ratus tahun kemudian, pihak yang produksi bukan cuma penduduk miskin, melainkan
diproduksi oleh orang-orang kaya pemilik pabrik kertas... hehehe...
Di dalam Mahaparinibbana
Sutta, mendengar desas-desus perbincangan para bhikkhu, Bhante Ananda galau dan
gundah gulana bila Sang Guru akan meninggal dunia atau parinibbana, siapakah
kelak yang akan memimpin Sangha. Sang Buddha berkata, “Ada
kemungkinan, bahwa di antara kalian ada yang berpikir: `Berakhirlah kata-kata
Sang Guru; kita tidak mempunyai seorang Guru lagi.` Tetapi, Ananda, hendaknya
tidak berpikir demikian. Sebab apa yang telah Aku ajarkan sebagai Dhamma dan
Vinaya, Ananda, itulah kelak yang menjadi Guru-mu, ketika Aku pergi.”
Dengan memiliki pandangan
yang benar, kita dapat menjadikan Dhamma dan Vinaya sebagai perlindungan dan acuan
jalan hidup kita dalam mengarungi arus samsara. Dengan memiliki pandangan pada
Empat Kebenaran Mulia, bahwa ada dukkha; ada asal mula dari dukkha; ada akhir
dari dukkha; dan sungguh melegakan bahwa ada jalan untuk mengakhiri dukkha.
(Dhp 188-192)
Akhir kata, saya mengutip
dari Samyutta Nikaya 19, Satipatthana Sutta; “Dengan melindungi diri sendiri,
kita akan melindungi orang lain. Dengan melindungi orang lain, kita akan
melindungi diri sendiri.”
“Dan bagaimana seseorang,
dengan melindungi diri sendiri, juga akan melindungi orang lain? Dengan
pengulangan dan praktik meditasi terus-menerus.”
“Dan bagaimana seseorang,
dengan melindungi orang lain, juga akan melindungi diri sendiri? Dengan
kesabaran dan menahan diri, dengan hidup tanpa kejahatan dan tak membahayakan,
dengan cinta kasih dan belas kasih.”
(VKM, 27 Sept 2015)
Subscribe to:
Posts (Atom)