Pages

Wednesday, May 18, 2016

Dhammadesana di Vihara Karuna Mukti Bandung
pada tanggal 15 Mei 2016
dapat dilihat di link berikut ini :

https://drive.google.com/file/d/0ByNMrbhP-VejNXNiU1ZmcjhPekU/view?usp=sharing




Sunday, October 25, 2015

Resume Dhamma Aldo Sinatra: Kosmologi Buddhis (25102015)



Suvijᾱno bhavaṁ hoti, Suvijᾱno parᾱbhavo
Dhammakᾱmmo bhavaṁ hoti, Dhammadesi parᾱbhavo’ti.
Kesejahteraan dalam kehidupan adalah wajar,
kemerosotan dalam kehidupan juga adalah wajar.
seseorang yang mencintai Dhamma akan sejahtera,
seseorang yang membenci Dhamma akan merosot.
(Sutta Nipata 92)



Anda selaku umat Buddha adalah orang-orang yang sungguh sangat luar biasa! Hadir di vihara tentu dengan tujuan kebajikan yang luar biasa! Sementara orang lain mungkin berhalangan hadir karena bepergian, macet, malas, dan sebagainya.


Dhamma sebagai Ajaran Buddha sungguh sangat Luar biasa, Dahsyat dan fantastis! Mengapa demikian?


Karena banyak bidang kehidupan yang dirangkul, dipeluk, ditelaah, dianalisa, dibahas sedemikian jelas dan gamblang di dalam Buddha Sasana. Lebih-lebih dalam era 2600 tahun yang lampau dengan teknologi terbatas dan pemikiran nan sederhana.


Ajaran Buddha sungguh sangat unik dan spesifik, berbeda jauh dengan kebanyakan ajaran-ajaran agama lainnya. Memang tak ditampik, banyak pula persamaan dalam segi landasan kemoralan dan kebajikannya.


Salah satu yang beda dan unik tersebut adalah tentang "Konsep Ketuhanan dan Kosmologi Buddhis."

Di sini saya lebih membahas kepada Kosmologi Buddhis yang unik, antara lain:


Alam Semesta, Awal Mula Bumi dan Manusia, Kehidupan Manusia di Alam Semesta, Kiamat.



Apa yang Anda pikirkan bila mendengar kata “KIAMAT”?

Yang jelas bukan kakek bernama “Ki Amat”. Atau ada istilah lain KIta pAsti MATi.



Menurut Bhante Uttamo, ada 3 jenis kiamat. Kiamat besar yaitu hancurnya semesta atau tata surya kita ini. Kiamat sedang yaitu berurainya lima khanda kita yang disebut kematian. Dan kiamat kecil yaitu perpisahan dari hal-hal yang kita cintai.




Alam Semesta



Menurut pandangan Buddhis, alam semesta ini luas sekali. Dalam alam semesta terdapat banyak tata surya yang jumlahnya tidak dapat dihitung. Hal ini diterangkan oleh Sang Buddha sebagai jawaban atas pertanyaan bhikkhu Ananda dalam Anguttara Nikaya sebagai berikut:


Ananda apakah kau pernah mendengar tentang seribu Culanika loka dhatu (tata surya kecil) ? .......

Ananda, sejauh matahari dan bulan berotasi pada garis orbitnya, dan sejauh pancaran sinar matahari dan bulan di angkasa, sejauh itulah luas seribu tata surya. Di dalam seribu tata surya terdapat seribu matahari, seribu bulan, seribu Sineru, seribu jambudipa, seribu Aparayojana, seribu Uttarakuru, seribu Pubbavidehana ....... Inilah, Ananda, yang dinamakan seribu tata surya kecil (sahassi culanika lokadhatu). *


Ananda, seribu kali sahassi culanika lokadhatu dinamakan "Dvisahassi majjhimanika lokadhatu".

Ananda, seribu kali Dvisahassi majjhimanika lokadhatu dinamakan "Tisahassi Mahasahassi Lokadhatu".


Ananda, bilamana Sang Tathagata mau, maka ia dapat memperdengarkan suara-Nya sampai terdengar di Tisahassi mahasahassi lokadhatu, ataupun melebihi itu lagi.


Sesuai dengan kutipan di atas dalam sebuah Dvisahassi Majjhimanika lokadhatu terdapat 1.000 x 1.000 = 1.000.000 tata surya. Sedangkan dalam Tisahassi Mahasahassi lokadhatu terdapat 1.000.000 x 1.000 = 1.000.000.000 tata surya. Alam semesta bukan hanya terbatas pada satu miliar tata surya saja, tetapi masih melampauinya lagi.



*Jambudipa adalah belahan bumi bagian selatan.

Aparayojana adalah belahan bumi bagian barat.

Uttarakuru adalah belahan bumi bagian utara.

Pubbavideha adalah belahan bumi bagian timur.




KEJADIAN BUMI DAN MANUSIA



Terjadinya bumi dan manusia merupakan konsep yang unik pula dalam agama Buddha, khususnya tentang manusia pertama yang muncul di bumi kita ini bukanlah hanya seorang atau dua orang, tetapi banyak. Kejadian bumi dan manusia pertama di bumi ini diuraikan oleh Sang Buddha dalam Digha Nikaya, Agganna Sutta, dan Brahmajala Sutta. Tetapi di bawah ini hanya uraian dari Agganna Sutta yang akan diterangkan.



Vasettha, terdapat suatu saat, cepat atau lambat, setelah suatu masa yang lama sekali, ketika dunia ini hancur. Dan ketika hal ini terjadi, umumnya makhluk-makhluk terlahir kembali di Abhassara (alam cahaya); di sana mereka hidup dari ciptaan batin (mano maya), diliputi kegiuran, memiliki tubuh yang bercahaya, melayang-layang di angkasa, hidup dalam kemegahan. Mereka hidup demikian dalam masa yang lama sekali.


Pada waktu itu (bumi kita ini) semuanya terdiri dari air, gelap gulita. Tidak ada matahari atau bulan yang nampak, tidak ada bintang-bintang maupun konstelasi-konstelasi yang kelihatan; siang maupun malam belum ada, ..... laki-laki maupun wanita belum ada. Makhluk-makhluk hanya dikenal sebagai makhluk-makhluk saja.


Vasettha, cepat atau lambat setelah suatu masa yang lama sekali bagi mahluk-mahluk tersebut, tanah dengan sarinya muncul keluar dari dalam air. Sama seperti bentuk-bentuk buih (busa) di permukaan nasi susu masak yang mendingin, demikianlah munculnya tanah itu. Tanah itu memiliki warna, bau dan rasa. Sama seperti dadi susu atau mentega murni, demikianlah warna tanah itu; sama seperti madu tawon murni, demikianlah manis tanah itu. Kemudian Vasettha, di antara makhluk-makhluk yang memiliki sifat serakah (lolajatiko) berkata : 'O apakah ini? Dan mencicipi sari tanah itu dengan jarinya. Dengan mencicipinya, maka ia diliputi oleh sari itu, dan nafsu keinginan masuk dalam dirinya. Makhluk-makhluk lainnya mengikuti contoh perbuatannya, mencicipi sari tanah itu dengan jari-jari... makhluk-makhluk itu mulai makan sari tanah, memecahkan gumpalan-gumpalan sari tanah tersebut dengan tangan mereka. Dan dengan melakukan hal ini, cahaya tubuh makhluk-makhluk itu lenyap. Dengan lenyapnya cahaya tubuh mereka, maka matahari, bulan, bintang-bintang dan konstelasi-konstelasi nampak... siang dan malam... terjadi.


Demikianlah, Vasettha, sejauh itu bumi terbentuk kembali.


Vasettha, selanjutnya mahluk-mahluk itu menikmati sari tanah, memakannya, hidup dengannya, dan berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka makan itu, maka tubuh mereka menjadi padat, dan terwujudlah berbagai macam bentuk tubuh. Sebagian makhluk memiliki bentuk tubuh yang indah dan sebagian makhluk memiliki tubuh yang buruk. Dan karena keadaan ini, mereka yang memiliki bentuk tubuh yang indah memandang rendah mereka yang memiliki bentuk tubuh yang buruk... maka sari tanah itupun lenyap... ketika sari tanah lenyap... muncullah tumbuhan dari tanah (bhumipappatiko). Cara tumbuhnya seperti cendawan... Mereka menikmati, mendapatkan makanan, hidup dengan tumbuhan yang muncul dari tanah tersebut, dan hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali... (seperti di atas). Sementara mereka bangga akan keindahan diri mereka, mereka menjadi sombong dan congkak, maka tumbuhan yang muncul dari tanah itu pun lenyap. Selanjutnya tumbuhan menjalar (badalata) muncul... warnanya seperti dadi susu atau mentega murni, manisnya seperti madu tawon murni... Mereka menikmati, mendapatkan makanan dan hidup dengan tumbuhan menjalar itu... maka tubuh mereka menjadi lebih padat; dan perbedaan bentuk tubuh mereka nampak lebih jelas; sebagian nampak indah dan sebagian nampak buruk. Dan karena keadaan ini, maka mereka yang memiliki bentuk tubuh indah memandang rendah mereka yang memiliki bentuk tubuh buruk... Sementara mereka bangga akan keindahan tubuh mereka sehingga menjadi sombong dan congkak, maka tumbuhan menjalar itu pun lenyap.


Kemudian, Vasettha, ketika tumbuhan menjalar lenyap... muncullah tumbuhan padi (sali) yang masak di alam terbuka, tanpa dedak dan sekam, harum, dengan bulir-bulir yang bersih. Pada sore hari mereka mengumpulkan dan membawanya untuk makan malam, pada keesokkan paginya padi itu telah tumbuh dan masak kembali. Bila pada pagi hari mereka mengumpulkan dan membawanya untuk makan siang, maka pada sore hari padi tersebut telah tumbuh dan masak kembali, demikian terus menerus padi itu muncul.


Vasettha, selanjutnya makhluk-makhluk itu menikmati padi (masak) dari alam terbuka, mendapatkan makanan dan hidup dengan tumbuhan padi tersebut, dan hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka nikmati dan makan itu, maka tubuh mereka tumbuh lebih padat, dan perbedaan bentuk mereka nampak lebih jelas. Bagi wanita nampak jelas kewanitaannya (itthilinga) dan bagi laki-laki nampak jelas kelaki-lakiannya (purisalinga). Kemudian wanita sangat memperhatikan tentang keadaan laki-laki, dan laki-laki pun sangat memperhatikan keadaan wanita. Karena mereka saling memperhatikan keadaan diri satu sama lain terlalu banyak, maka timbullah nafsu indriya yang membakar tubuh mereka. Dan sebagai akibat adanya nafsu indriya tersebut, mereka melakukan hubungan kelamin.


Vasettha, ketika mahluk-mahluk lain melihat mereka melakukan hubungan kelamin...

(Silakan buka Digha Nikaya bab 27 Agganna Sutta untuk lebih lengkapnya)




KEHIDUPAN MANUSIA DI ALAM SEMESTA



Di kalangan masyarakat dan karena pengaruh pandangan atau ajaran dari agama-agama lain, banyak orang menganggap bahwa kehidupan manusia di dunia ini hanya sekali saja. Pandangan ini berbeda sekali dengan agama Buddha, karena dalam Digha Nikaya, Brahmajala Sutta, Sang Buddha menerangkan tentang kehidupan manusia yang telah hidup berulang-ulang kali yang diingat berdasarkan pada kemampuan batin yang dihasilkan oleh meditasi. Sang Buddha mengatakan bahwa:



... ada beberapa pertapa dan brahmana yang disebabkan oleh semangat, tekad, kesungguhan dan kewaspadaan bermeditasi, ia dapat memusatkan pikirannya, batinnya, menjadi tenang, ia dapat mengingat alam-alam kehidupannya yang lampau pada 1, 2, 3, 4, 5, 10, 20, 30, 40, 50, 100, 1000, beberapa ribu atau puluhan ribu kehidupan yang lampau... 1, 2, 3, 4, 5, 10, kali masa bumi berevolusi (bumi terjadi dan bumi hancur, bumi terjadi kembali dan hancur kembali... dst.). ... 20, 30, sampai 40 kali masa bumi berevolusi... (tetapi) Tathagata telah menyadari dan mengetahui hal-hal lain yang lebih jauh daripada jangkauan pandangan-pandangan mereka tersebut...



Telah kita ikuti di atas bahwa menurut pandangan Buddhis, kehidupan atau kelahiran manusia bukan baru sekali saja tetapi telah berulang-ulang kali hidup di bumi ini dan juga hidup di bumi-bumi yang lain. Manusia atau mahluk hidup berpindah-pindah dari sebuah bumi ke bumi yang lain. Perpindahan kehidupan manusia dari sebuah bumi ke bumi yang lain disebabkan karena bumi yang dihuninya telah hancur lebur atau kiamat, maka setelah kematiannya di bumi tersebut ia terlahir di alam Abhassara (alam cahaya). Kelahiran di alam Abhassara ini dapat dicapai oleh orang yang melakukan meditasi ketenangan batin (samatha bhãvana). Alam Abhassara adalah sebuah alam dari 31 alam kehidupan menurut kosmologi alam kehidupan Buddhis. 


Tentang 31 alam ini lihatlah TABEL ALAM-ALAM KEHIDUPAN.

Bila seseorang bermeditasi samatha bhãvana hingga mencapai tingkat Jhãna II, dan kalau orang tersebut meninggal dunia dalam kondisi meditasi pada Jhãna II tersebut maka ia akan terlahir sebagai Brahma di alam Abhassara dan hidup dengan masa usia yang lama sekali.


Dari ke-31 alam, kecuali lima alam Suddhavasa yaitu alam Aviha, Atappa, Sudassa, Sudassi, dan Akanittha, adalah alam lokuttara (transenden) tempat kelahiran para Anagami*. Anagami adalah manusia atau makhluk yang telah melenyapkan 5 belenggu (samyojana)** dari 10 belenggu yang mengikat manusia.


Anagami adalah manusia atau makhluk suci (ariya pugala) dari empat macam manusia suci menurut agama Buddha, yaitu: Sotapanna, Sakadagami, Anagami, dan Arahat. Anagami akan mencapi tingkat kesucian tertinggi (arahat) di salah satu alam Suddhavasa ini, dan ia parinibbana sebagai arahat di alam ini pula.


Manusia pada umumnya telah berulang-ulang kali masuk keluar hidup di 26 alam kehidupan. Kelahiran manusia di salah sebuah alam tergantung pada amal perbuatannya semasa hidupnya di sebuah alam.




KIAMAT



Pada suatu ketika bumi kita ini akan hancur lebur dan tidak ada. Tapi hancur leburnya bumi kita ini atau kiamat bukanlah merupakan akhir dari kehidupan kita. Sebab seperti apa yang telah diuraikan di halaman terdahulu, bahwa di alam semesta ini tetap berlangsung pula evolusi terjadinya bumi. Lagi pula, bumi kehidupan manusia bukan hanya bumi kita ini saja tetapi ada banyak bumi lain yang terdapat dalam tata surya - tata surya yang tersebar di alam semesta ini.


Kiamat atau hancur leburnya bumi kita ini menurut Anguttara Nikaya, Sattakanipata diakibatkan oleh terjadinya musim kemarau yang lama sekali. Selanjutnya dengan berlangsungnya musim kemarau yang panjang ini muncullah matahari yang kedua, lalu dengan berselangnya suatu masa yang lama matahari ketiga muncul, matahari keempat, matahari kelima, matahari keenam dan akhirnya muncul matahari ketujuh. Pada waktu matahari ketujuh muncul, bumi kita terbakar hingga menjadi debu dan lenyap bertebaran di alam semesta.


Pemunculan matahari kedua, ketiga dan lain-lain bukan berarti matahari-matahari itu tiba-tiba terjadi dan muncul di angkasa, tetapi matahari-matahari tersebut telah ada di alam semesta kita ini. Dalam setiap tata surya terdapat matahari pula.


Menurut ilmu pengetahuan bahwa setiap planet, tata surya, dan galaxi beredar menurut garis orbitnya masing-masing. Tetapi kita sadari pula, karena banyaknya tata surya di alam semesta kita ini, maka pada suatu masa garis edar tata surya kita akan bersilangan dengan garis orbit tata surya lain, sehingga setelah masa yang lama ada tata surya yang lain lagi yang bersilangan orbitnya dengan tata surya kita. Akhirnya tata surya ketujuh menyilangi garis orbit tata surya kita, sehingga tujuh buah matahari menyinari bumi kita ini. Baiklah kita ikuti uraian tentang kiamat yang dikhotbahkan oleh Sang Buddha kepada para bhikkhu:



Bhikkhu, akan tiba suatu masa setelah bertahun-tahun, ratusan tahun, ribuan tahun, atau ratusan ribu tahun, tidak ada hujan. Ketika tidak ada hujan, maka semua bibit tanaman seperti bibit sayuran, pohon penghasil obat-obatan, pohon-pohon palem dan pohon-pohon besar di hutan menjadi layu, kering, dan mati...


Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari kedua muncul. Ketika matahari kedua muncul, maka semua sungai kecil dan danau kecil surut, kering dan tiada...


Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari ketiga muncul. Ketika matahari ketiga muncul, maka semua sungai besar, yaitu sungai Gangga, Yamuna, Aciravati, Sarabhu dan Mahi surut, kering dan tiada...


Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari keempat muncul. Ketika matahari keempat muncul, maka semua danau besar tempat bermuaranya sungai-sungai besar, yaitu danau Anotatta, Sihapapata, Rathakara, Kannamunda, Kunala, Chaddanta, dan Mandakini surut, kering dan tiada...


Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari kelima muncul. Ketika matahari kelima muncul, maka air maha samudra surut 100 yojana*, lalu surut 200 yojana, 300 yojana, 400 yojana, 500 yojana, 600 yojana dan surut 700 yojana. Air maha samudra tersisa sedalam tujuh pohon palem, enam, lima, empat, tiga, dua pohon palem, dan hanya sedalam sebatang pohon palem. Selanjutnya, air maha samudra tersisa sedalam tinggi tujuh orang, enam, lima, empat, tiga, dua dan hanya sedalam tinggi seorang saja, lalu dalam airnya setinggi pinggang, setinggi lutut, hingga airnya surut sampai sedalam tinggi mata kaki.


Para bhikkhu, bagaikan di musim rontok, ketika terjadi hujan dengan tetes air hujan yang besar, mengakibatkan ada lumpur di bekas tapak-tapak kaki sapi, demikianlah dimana-mana air yang tersisa dari maha samudra hanya bagaikan lumpur yang ada di bekas tapak-tapak kaki sapi.


Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari keenam muncul. Ketika matahari keenam muncul, maka bumi ini dengan gunung Sineru sebagai raja gunung-gunung, mengeluarkan, memuntahkan dan menyemburkan asap. Para bhikkhu, bagaikan tungku pembakaran periuk yang mengeluarkan, memuntahkan dan menyemburkan asap, begitulah yang terjadi dengan bumi ini.


Demikianlah, para bhikkhu, semua bentuk (sangkhara) apa pun adalah tidak kekal, tidak abadi atau tidak tetap. Janganlah kamu merasa puas dengan semua bentuk itu, itu menjijikkan, bebaskanlah diri kamu dari semua hal.


Para bhikkhu, selanjutnya akan tiba suatu masa, suatu waktu di akhir masa yang lama, matahari ketujuh muncul. Ketika matahari ketujuh muncul, maka bumi ini dengan gunung Sineru sebagai raja gunung-gunung terbakar, menyala berkobar-kobar, dan menjadi seperti bola api yang berpijar. Cahaya nyala kebakaran sampai terlihat di alam Brahma, demikian pula dengan debu asap dari bumi dengan gunung Sineru tertiup angin sampai ke alam Brahma.


Bagian-bagian dari puncak gunung Sineru setinggi 1, 2, 3, 4, 5 ratus yojana terbakar dan menyala ditaklukkan oleh amukan nyala yang berkobar-kobar, hancur lebur. Disebabkan oleh nyala yang berkobar-kobar bumi dengan gunung Sineru hangus total tanpa ada bara maupun abu yang tersisa. Bagaikan mentega atau minyak yang terbakar hangus tanpa sisa. Demikian pula bumi maupun debu tidak tersisa sama sekali.



Diskusi :

T: Bila kita melakukan keburukan-keburukan saat ini adalah warisan dari leluhur para makhluk Abhassara, maka semestinya kita tidak bersalah atau berdosa, toh mewarisi sifat mereka?


J: Itu tak ubahnya seperti pemahaman bahwa karena Tuhan adalah Maha Pengatur, maka semua kesalahan yang kita perbuat karena kehendaknya! Salahkan beliau kalau kita salah? Apa beda kita dengan penganut pandangan demikian? Tujuan mempelajari Buddhism, dalam hal ini asal muasal kesalahan yang pernah diperbuat leluhur kita, setelah memahami Kebenaran Dhamma, dapatkah kita memutus semua akar kilesa kita untuk menjadi cerah dan “terbangun”.



T: Apakah di dalam agama Buddha terdapat kasta? Apakah kasta terbaik?

J: Ketika menjawab pertanyaan Vasetta dan Bharadvaja, (sebab munculnya Agganna Sutta) yang mempertanyakan kasta yang terbaik, Sang Buddha menyebut Khattiya lah yang terbaik. Sang Bhagava mengutip Brahma Sunankumara, “Khattiya adalah yang terbaik di antara semua kasta, Ia dengan pengetahuan dan perilaku yang baik adalah yang terbaik di antara Dewa dan manusia. Namun, kepada para Bhikkhu yang taat, Sang Buddha menyebut di dalam Buddha Sasana hanya mengenal satu kasta yaitu Sakyaputta (putra Sakya).



Semoga jasa-jasa kebajikan yang telah kita perbuat, baik dari Sang Dhammaduta yang telah membabarkan Dhamma (kalena dhammasakkacca) dan para umat yang mendengar Dhamma (kalena dhammasavanam) yang merupakan berkah utama, dapat terlimpah kepada para leluhur yang telah meninggal, baik para leluhur di kehidupan saat ini maupun di kehidupan-kehidupan yang lampau. Semoga mereka semua berbahagia.

Semoga semua makhluk hidup berbahagia.

Sabbe satta bhavantu sukhitata.

Sadhu...





VKM, 25 Okt 2015

Sunday, October 11, 2015

Resume Dhammadesana Romo Jayana: Pengaruh Pikiran dalam Kehidupan (11102015)

Ceramah Romo Jayana menggunakan slide power point, silakan saksikan slide-nya (klik saja tautan, tulisan berwarna merah berikut), setelah masuk ke situs mediafire, silakan klik tulisan View (kotak warna hijau)





Untuk mengganti gambar slide, silakan tekan tombol panah ke kanan (-->). Selamat menyaksikan...

Sunday, September 27, 2015

Samma Ditthi: Menghapus Tabir Kelam Perbedaan Dhamma dan Adhamma



Di antara semua jalan, maka Jalan Mulia Berfaktor Delapan adalah yang terbaik; di antara semua kebenaran, maka Empat Kebenaran Mulia adalah yang terbaik.

~ Dhammapada XX : 273



Tak dapat dipungkiri, umat Buddha Indonesia menghadapi kerancuan pandangan akan banyaknya tradisi atau budaya yang telah melebur, bercampur dan sinkretis dengan Buddha Dhamma. Sehingga tak heran bilamana beberapa umat yang galau tersebut mempertanyakan manakah Dhamma yang benar itu? Dan mana yang bukan Dhamma?



Salah satunya kerancuan akan pandangan mengenai telah datangnya Buddha akan datang, Buddha Metteya. Bahkan ada catatan yang menyebutkan pada tanggal 1 Agustus 1943 (Ref. Majalah Dhammacakka No. 43/XII/Agustus-Oktober 2006 artikel berjudul Kerancuan Pandangan hal. 12). Padahal kita semua tahu bahwa Ajaran Buddha Gotama masih eksis dan lengkap, yang tertuang di dalam Tipitaka.



Pandangan berikutnya, dari BBM seorang teman yang mempertanyakan apakah je it dan cap go (tiap tgl 1 dan 15 penanggalan lunar), umat Buddha wajib melakukan cia cai (vegetarian)? 

Saya menjawab, bila ia terbiasa cia cai, silakan. Bila tidak, jangan dipaksa!


Di dalam Dhamma, Sang Buddha tidak pernah mempermasalahkan umat-Nya untuk bervegetarian.

Bila umat Buddha Mahayana cukup ketat untuk menghimbau untuk veggie, itu baik. Dengan pemahaman untuk berlatih welas asih pada semua makhluk. Dan demi pola hidup sehat. Tapi, bukan berarti yang bukan veggie itu buruk dan salah, atau telah melanggar sila.



Vegetarian tidak menjadikan seseorang menjadi suci dan murni. Di dalam Amagandha Sutta, Sang Buddha berkata:

Bukan daging, atau berpuasa, atau bertelanjang,

Bukan kepala tercukur, atau rambut kusut, atau kotor,

Bukan kulit yang kasar, atau pemujaan api,

Bukan semua pengampunan dosa di dunia ini,

Bukan kidung, atau pengorbanan,

Bukan pesta musiman,


Yang akan memurnikan seseorang yang dikuasai keragu-raguan.



Di dalam Majjhima Nikaya I: 369, Sang Buddha mendapat pertanyaan dari Jivaka Komarabhacca berikut, “Yang Mulia, saya telah mendengar bahwa bahwa hewan sengaja dibantai untuk petapa Gotama, dan bahwa petapa Gotama secara sadar makan daging yang sengaja dibunuh untuk-Nya. Yang Mulia, apakah mereka yang berkata demikian memberikan tuduhan palsu kepada Sang Buddha? Atau apakah mereka mengatakan yang sebenarnya? Apakah pernyataan tambahan Anda tidak diejek oleh orang lain dengan segala cara?”


“Mereka yang berkata demikian, tidak berkata sesuai dengan apa yang telah Aku nyatakan dan mereka memberi tuduhan palsu kepada-Ku. Jivaka, Aku telah menyatakan bahwa seseorang tidak boleh menggunakan daging jika terlihat, terdengar, dan dicurigai telah sengaja dibunuh untuk seorang bhikkhu. Aku mengiizinkan para bhikkhu makan daging yang cukup murni dalam tiga hal: jika daging itu tidak terlihat, terdengar, dan dicurigai telah sengaja dibunuh untuk seorang bhikkhu.”



Jadi jelas di sini, Sang Buddha menyatakan bahwa bukanlah apa yang masuk ke dalam mulut seseorang yang mengotori, melainkan apa yang keluar dari mulutnya. Tujuan belajar Dhamma adalah mengurangi ketamakan, bukan pada jenis makanan yang dikonsumsinya.



Walau demikian, Sang Buddha menganjurkan para bhikkhu untuk menghindari memakan sepuluh jenis daging untuk kehormatan dan perlindungan diri mereka. Jenis daging tersebut antara lain: manusia, gajah, kuda, anjing, ular, singa, harimau, macan tutul, beruang, dan hyena. Beberapa hewan menyerang orang jika mereka mencium daging jenis mereka. (Vinaya Pitaka)



Kesalahan pandangan yang lain, adalah menganggap beberapa tradisi dan budaya leluhur sebagai Dhamma. 


Pada hari ini, umat keturunan Thionghoa merayakan Perayaan Tiong Ciu, yang tepat pada peh gwee cap go atau tanggal 15 bulan 8 penanggalan lunar. Sesungguhnya mereka merayakan perayaan tengah musim gugur. Mereka berkumpul pada tengah malam untuk melihat malam bulan purnama, yang konon termasuk yang paling bulat, paling besar dan paling indah sepanjang tahun. Para remaja, muda-mudi yang belum berpasangan mencari jodoh dalam perayaan tersebut. Ladang untuk mencari jodoh.


Andai mereka mau menilik latar sejarah di baliknya, bahwa kisah Tiong Ciu adalah kisah percemburuan Dewi Chang E kepada suaminya yang hidung belang Hou Yi. Yang terkenal karena telah memanah 9 matahari yang ketika itu bumi ini dikelilingi oleh sepuluh matahari. Panas sekali, banyak hewan mati kepanasan, dan tumbuhan tak dapat tumbuh. Singkat cerita, karena rasa sesalnya Hou Yi karena kedapatan selingkuh, ia berniat untuk mendapatkan pil keabadian. Suatu ketika, Chang E menelan sendiri pil tersebut, hingga ia terbang ke langit, namun karena tidak diterima Raja Langit, ia terbang ke bulan. Untuk mengungkapkan rasa rindunya, Hou Yi membuat kue bulan untuk berharap Chang E kembali kepadanya. 


Sungguh rada aneh ya, kisah perselingkuhan dan rasa cemburu, berkembang menjadi perayaan mencari jodoh?


Namun, bila umat merayakan tradisi dan budaya tersebut, silakan?! Sang Buddha tidak pernah menolak dan melarang umat-Nya untuk merayakan tradisi leluhur selama hal tersebut tidak merugikan dirinya sendiri dan orang lain.



Ada kisah lain tentang tradisi. Bila bulan lalu, umat Buddha mengadakan upacara pattidana, umat Buddha Mahayana dan kaum Tionghoa pada umumnya mengadakan ulambana. Salah satunya melakukan pembakaran kertas sembahyang, yang disebut Kim Cua (kertas emas) dan Gin Cua (kertas perak) untuk upacara sembahyang kepada leluhur dan para arwah yang telah meninggal. Apakah hal itu salah? Kembali dalam Ajaran Buddha tidak pernah melarang praktik tradisi leluhur. Hal ini dapat diambil hikmahnya, yaitu bakti kepada orangtua dan para leluhur. 


Namun, alangkah baiknya bila kita kembali menilik akar sejarahnya.



Alkisah, seorang kaisar dari dinasti Tang yang amat bijak, berpura-pura mati selama tiga hari. Ketika disemayamkan oleh para keluarga kerajaan, ia terbangun. Dan saat bangun, kepada hulu balang kerajaan, ia mengatakan mendapat visi/pandangan dalam masa mati surinya. Beliau menghimbau kepada keturunan dan sanak keluarganya, yang kelak diikuti oleh para rakyatnya untuk membakar kertas emas dan perak untuk menghormati para leluhur yang telah meninggal, yang mungkin terlahir di alam menderita. 


Tahukah Anda, usut demi usut, ternyata ini adalah siasat politik Sang Kaisar yang bijak yang tahu betul bahwa kerajaannya tidak semuanya subur dan makmur. Ada daerah tertentu yang tandus dan gersang, dan hanya tumbuh pohon bambu untuk pembuat kertas pada waktu itu. Sehingga yang semula terjadi kesenjangan ekonomi di kerajaannya, kini dengan produksi massal pembuatan kertas sembahyang, maka para kaum miskin tersebut memiliki lapangan pekerjaan.


Namun, kini setelah sekian ratus tahun kemudian, pihak yang produksi bukan cuma penduduk miskin, melainkan diproduksi oleh orang-orang kaya pemilik pabrik kertas... hehehe... 



Di dalam Mahaparinibbana Sutta, mendengar desas-desus perbincangan para bhikkhu, Bhante Ananda galau dan gundah gulana bila Sang Guru akan meninggal dunia atau parinibbana, siapakah kelak yang akan memimpin Sangha. Sang Buddha berkata, “Ada kemungkinan, bahwa di antara kalian ada yang berpikir: `Berakhirlah kata-kata Sang Guru; kita tidak mempunyai seorang Guru lagi.` Tetapi, Ananda, hendaknya tidak berpikir demikian. Sebab apa yang telah Aku ajarkan sebagai Dhamma dan Vinaya, Ananda, itulah kelak yang menjadi Guru-mu, ketika Aku pergi.”



Dengan memiliki pandangan yang benar, kita dapat menjadikan Dhamma dan Vinaya sebagai perlindungan dan acuan jalan hidup kita dalam mengarungi arus samsara. Dengan memiliki pandangan pada Empat Kebenaran Mulia, bahwa ada dukkha; ada asal mula dari dukkha; ada akhir dari dukkha; dan sungguh melegakan bahwa ada jalan untuk mengakhiri dukkha. (Dhp 188-192)



Akhir kata, saya mengutip dari Samyutta Nikaya 19, Satipatthana Sutta; “Dengan melindungi diri sendiri, kita akan melindungi orang lain. Dengan melindungi orang lain, kita akan melindungi diri sendiri.” 


“Dan bagaimana seseorang, dengan melindungi diri sendiri, juga akan melindungi orang lain? Dengan pengulangan dan praktik meditasi terus-menerus.”


“Dan bagaimana seseorang, dengan melindungi orang lain, juga akan melindungi diri sendiri? Dengan kesabaran dan menahan diri, dengan hidup tanpa kejahatan dan tak membahayakan, dengan cinta kasih dan belas kasih.”


(VKM, 27 Sept 2015)
 

Blogger news

Blogroll

About